X
 


Tanggapan Anang Iskandar Tentang Asimilasi Narapidana Ditengah Pandemi Covid-19

SPB - Apr 10, 2020 20:28:36

SINAR PAGI BARU – JAKARTA.

Wartawan media ini meminta tanggapan mantan Kepala BNN, Anang Iskandar terkait dengan kebijakan pemerintah yang melakukan asimilasi kepada 30 ribu orang warga binaan/narapidana ditengah pandemi virus corona covid-19.

Anang mengatakan bahwa banyaknya warga binaan itu akibat dari “malpraktek” penegakan hukum narkotika selama ini, sehingga lapas kelebihan kapasitas.

Saya menilai pembebasan 30 ribu narapidana apapun alasannya, adalah terobosan pemerintah untuk mengatasi over kapasitas lapas akibat penyalah guna dihukum penjara”, ungkapnya.

Dilain sisi, penegakan hukum narkotika justru memproduksi 14 ribu narapidana pertahun, 70 % dari kapasitas produksi penegakan hukum secara keseluruhan yang jumlahnya 20 ribu pertahun, dan sayangnya bukan murni pengedar tetapi campuran antara pengedar dan penyalah guna narkotika.

Nah, disini masalahnya. Lapas bukan tempat penyalahguna narkotika, meskipun penyalah guna sebagai pelaku kriminal tempat penyalah guna sebenarnya dilembaga rehabilitasi. Sedangkan pengedar harus dihukum penjara. Itu sesuai dengan tujuan UU Narkotika negara kita dalam memberantas peredaran gelap narkotika”, jelas Anang yang terus memantau sepak terjang pemerintah mengatasi peredaran gelap narkotika di Indonesia.

Untuk itu, guna menghindari over kapasitas di lembaga pemasyarakatan, terang Anang, meskipun sama sama perkara narkotika tapi tujuan penegakan hukumnya berbeda, pengedarnya diberikan sanksi pidana penjara, sedangkan penyalah gunanya diberi sanksi  keluar dari pidana sebagai gantinya diberi sanksi berupa rehabilitasi.

Itu sebabnya hakim diberi kewenangan wajib (bukan kewenangan fakultatif) dalam memeriksa penyalah guna "dapat" menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila terdakwanya dinyatakan bersalah, dan menetapkan terdakwanya menjalani hukuman rehabilitasi bila tidak terbukti bersalah”, tegas Anang.

Artinya hakim diberi kewenangan untuk mendekriminalisasikan perkara penyalah guna narkotika dengan memberikan sanksi keluar dari sanksi pidana berupa sanksi rehabilitasi.

Dekriminalisasi penyalahguna narkotika tersebut merupakan terobosan hukum yang diatur dalam UU narkotika untuk menekan demand sekaligus menekan supply dalam rangka menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika.

Selain itu, Peraturan pemerintahnya jelas memberi kewenangan kepada penegak hukum baik penyidik, penuntut maupun hakim untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum sesuai tingkat kewenangannya (PP no 25/2011 pasal 13).

Begitupun SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 4 tahun 2010 juga mengatur penggunaan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika yaitu perkara kepemilikan narkotika dengan tujuan untuk digunakan sendiri dengan jumlah barang bukti terbatas sesuai SEMA tersebut.

Malpraktek penegakan hukum terhadap perkara penyalah guna yang mestinya dihukum menjalani rehabilitasi nyatanya dihukum penjara membuat pemerintah kesulitan mengatasi over kapasitas lapas.

Karena malpraktek penegakan hukum terhadap perkara penyalahgunaan narkotika itulah lapas kemudian membebaskan 30 ribu narapidana yang mayoritas adalah penyalah guna narkotika dengan momentum wabah covid-19. Bisa jadi ke depan lebih besar lagi, jelas mantan Kabareskrim Polri ini. (berkam/sri)