X
 


Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau

SPB - Jul 20, 2020 00:37:57

Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Hasil Tembakau

 Oleh: Mukhaer Pakkanna, ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Makna cukai  harus dikembalikan ke-khittahn-anya. Sejatinya, cukai dikenakan pada suatu komoditas (jasa) karena eksternalitas negatif dari komoditas tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan, bukan semata-mata untuk menambah pemasukan negara. Pengenaan beban cukai diharapkan dapat menekan konsumsi produk-produk tersebut (UU No. 39 tahun 2007).

Produk tembakau dan rokok memiliki eksternalitas negatif ke kesehatan, lingkungan, anak-anak remaja, orang miskin, perokok pasif, buruh rokok, buruh industri, dan lainnya. 

Dalam PP No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 terutama Bab IV.19 Meningkatkan Kualitas SDM dan Berdaya Saing menjelaskan tentang ekternalitas negatif produk tembakau (hlm 152). Dalam bagian Terpenuhinya Layanan Dasar, tercantum Indikator Strategi untuk menekan Persentase Perokok Usia 10 – 18 tahun dari eksisting 9,1% (2019) menjadi 8,7% (2024).

Kemudian dalam Bagian Pengendalian Penyakit, RPJM 2020-2024 mencantumkan beberapa strategi: Peningkatan Cukai Hasil Tembakau Secara Bertahap, Pelarangan Total Iklan dan Promosi Rokok, Pembesaran Pencantuman Peringatan Bergambar Bahaya Rokok, hingga Perluasan Penggunaan Cukai pada Produk Pengan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.

Dalam kaitan menaikkan cukai hasil tembakau, tentu bertujuan untuk; Pertama, mengurangi prevalensi terutama bagi anak dan remaja perokok (dalam rangka peningkatan kualitas SDM dan bonus demografi). Kedua, peningkatan kualitas kesehatan dan lingkungan. 

Ketiga, merujuk WHO dengan batas minimal kenaikan cukai 70% dari Harga Jual Eceran (HJE) sehingga terjadi peningkatan penerimaan (side effect dari eksternalitas negatif). Keempat, peningkatan kompensasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani tambakau.

Dalam rangkaian pengaturan pengenaan cukai hasil tembakau, pemberintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam PMK yang terakhir, telah mencantum struktur pengenaan cukai yang lebih sederhana dengan membagi Batasan Harga Jual Eceran (HJE) Per Batang atau Gram dan Tarif Cukai Per batang atu Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri dan Luar Negeri.

Mengapa penting untuk menyederhanakan?

Alasan spesifik yakni, pertama, supaya tidak overlapping (tumpang tindih) dalam pengenaan cukai terhadap produk. Kedua, mempertegas jenis atau kelompok produk yang dihasilkan oleh industri. Ketiga, mengurangi celah “memainkan” strata atau pengelompokkan jenis produk. Dengan alasan ini, system cukai semakin sedehana (tidak membingungkan) dan system administrasi yang maki kuat.

Alasan umum yakni: pertama, optimalisasi penerimaan negara, kedua, peningkatan tingkat compliance (hasil survey P2EB UGM), ketiga, penyederhaan sistem administrasi dan keempat menghilangkan rentang harga (mendorong kenaikan harga rokok). Terlebih bila dipahami, bahwa memang cukai rokok pada dasarnya merupakan instrumen pengendalian rokok yang paling efektif, disamping tentu saja untuk menaikkan pendapatan negara.

Masalahnya selama ini, misalnya, peningkatan penerimaa cukai selalu terhambat dengan Pasal 5 ayat 4 UU ayat 4 UU 39/2007 tentang Cukai berbunyi: “Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri

Dalam rangka menaikkan tarif cukai, beberapa contoh Negara lain:

1. Cukai tembakau merupakan solusi win-win untuk kesehatan masyarakat, pemerataan (equity) dan mobilisasi  sumber daya domestic; 2. Kenaikan harga dan cukai rokok berhasil mengurangi konsumsi rokok terutama pada kelompok pemuda; 3. Harga naik, konsumsi berkurang, pendapatan dari cukai tembakau tetap meningkat (Korea, Turki, Ukraina, dan Filipina). Untuk Turki misalnya: kenaikan cukai bertahap 58% ( 65%, menurunkan penjualan rokok 12% dan prevalensi dari 31.2% menjadi 27.1%);

4. Kebijakan cukai rokok akan cost-effective jika harga rokok menjadi mahal; 5. Apabila tidak, dampak cukai rokok akan berkurang (diminished); 6. Tarif cukai rokok 70% (dua pertiga) dari harga jual eceran (WHO); 7. Besaran cukai rokok harus disesuaikan dengan inflasi dan dampak kenaikan pendapatan; 8. Penerapan cukai rokok yang tinggi harus diiringi dengan sistem cukai yang sederhana (tidak multi-tiered) dan  sistem administrasi yang kuat; 

9. Efek kenaikan cukai rokok tidak berdampak signifikan pada meningkatnya produk ilegal (illicit product) di Mongolia; 10. Pendapatan kenaikan cukai rokok untuk kompensasi kesejahteraan pekerja tembakau (Bangladesh, India, dan Filipina); 11.   Jaring pengaman sosial (safety nets) bagi petani, pengembangan bibit tanaman baru, akses kredit, dan perbaikan rantai suplai pertanian; 12.   Ear-marking pendapatan cukai rokok untuk belanja program kesehatan seperti di Filipina.

Dalam riset CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta (2019) menyebutkan, bahwa Kerugian akibat rokok dari berbagai pendekatan SDM (Sumber Daya Manusia) dan potensi Ekonomi terdiri dari kehilangan tahun produktif, belanja kesehatan total (rawat inap), belanja kesehatan total (rawat jalan), belanja rokok/konsumsi rokok, biaya potensi kehilangan/loss multiplier effect  total sebesar Rp 748,96 triliun.

Loss Multiplier effect  adalah potensi kehilangan pada industri riil lainnya yang menjadi industri utama. Hal ini diperoleh dari pengkalian belanja rokok/konsumsi rokok dengan satuan multiplier rokok tersebut.

Artinya potensi industri lain yang dapat berkembangan dengan baik dan sehat tanpa adanya rokok cukup besar, dan ini mendukung stabilitas ekonomi serta industri nasional. Jika dibandingkan dengan penerimaan Cukai Rokok pada 2018 yakni sebesar Rp 153 triliun terlihat mendominasi 95,8% penerimaan cukai Negara sebesar Rp 159,7 T, maka kerugian Negara akibat Rokok sangat jauh lebih besar dengan perbandingan 1:5.

Selain itu, dari perhitungan model regresi, menunjukkan bahwa kenaikan Cukai dan Penyederhanan Layer Cukai akan menigkatkan pendapatan Negara, memberikan stabiitas industri riil lainnya, serta menurunkan prevalensi merokok masyarakat miskin dan anak dan remaja, formula ini bisa menjadi sebuah skema win-win solution  baik bagi Negara, Rakyat, dan Industri Rokok.

Kunci pengendalian rokok, dengan langkah-langkah, yakni:

PERTAMA, Komitmen politik dan pimpinan tertinggi negara; KEDUA, Menaikkan cukai rokok, yang didasari dengan payung hukum yang kuat; KETIGA Penyusunan strategi dan kebijakan diversifikasi petani dan tenaga kerja di bidang tanaman tembakau ke tanaman lainnya; KEEMPAT, Menaikkan harga rokok sehingga masyarakat menengah ke bawah tidak sanggup membeli;

KELIMA, Pelarangan secara total (total banned) iklan dan pemasaran produk tembakau. KEENAM, advokasi dan dukungan pada kelompok petani untuk diversifikasi produk tanaman selain tembakau; KETUJUH, Advokasi dan dukungan pada industri dan UMKM untuk beralih (shifting) ke komoditas non tembakau; KEDELAPAN pemberlakuan aturan yang sama untuk produk pengganti rokok konvensional seperti e-cigarette dan vaporizers yang juga berdampak buruk bagi kesehatan;

KESEMBILAN, mekanisme monitoring dan evaluasi yang efektif terhadap upaya pengendalian konsumsi produk  tembakau; KESEPULUH, Public awareness  secara massif, menjadi semacam ‘gerakan nasional anti merokok’, dikaitkan denan aspek kesehatan; KESEBELAS, Peran Pemda: Perda pelarangan merokok hingga tata niaga/produksi rokok, pemberdayaan alternative petani tembakau, aturan Bansos daerah; 

KEDUABELAS, Menegakkan Kawasan Tanpa Rokok seluas-luasnya. KETIGABELAS, memberlakukan penalti untuk penerima bansos yang merokok, dan dengan bansos yang terintegrasi, pemutusan kepesertaan 1 program berdampak pada pemutusan program lainnya. (Jakarta, 17 Juli 2020). ***

 

(foto: ilustrasi/ist)